Jumat, 23 Maret 2012

8 kebohongan seorang ibu semasa hidupnya

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita

percaya bahwa kebohongan akan

membuat manusia terpuruk dalam

penderitaan yang mendalam, tetapi

kisah

ini justru sebaliknya.

Dengan adanya kebohongan ini,

makna sesungguhnya dari

kebohongan ini

justru dapat membuka mata kita dan

terbebas dari penderitaan, ibarat

sebuah energi yang mampu

mendorong mekarnya sekuntum

bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika aku masih kecil,

aku terlahir sebagai seorang anak laki-

laki di sebuah keluarga yang miskin.

Bahkan untuk makan saja,

seringkali kekurangan. Ketika makan,

ibu sering memberikan porsi nasinya

untukku. Sambil memindahkan nasi

ke mangkukku, ibu berkata :

“Makanlah nak, aku tidak lapar”

———- KEBOHONGAN IBU YANG

PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu

yang gigih sering meluangkan waktu

senggangnya untuk pergi memancing

di kolam dekat rumah, ibu berharap

dari ikan hasil pancingan, ia bisa

memberikan sedikit makanan bergizi

untuk petumbuhan. Sepulang

memancing, ibu memasak sup ikan

yang segar dan mengundang selera.

Sewaktu aku memakan sup ikan itu,

ibu duduk

disamping aku dan memakan sisa

daging ikan yang masih menempel di

tulang

yang merupakan bekas sisa tulang

ikan yang aku makan. Aku melihat ibu

seperti itu, hati juga tersentuh, lalu

menggunakan sumpitku dan

memberikannya kepada ibuku. Tetapi

ibu dengan cepat menolaknya, ia

berkata :

“Makanlah nak, aku tidak suka makan

ikan” ———- KEBOHONGAN IBU

YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP,

demi membiayai sekolah abang dan

kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk

membawa sejumlah kotak korek api

untuk

ditempel, dan hasil tempelannya itu

membuahkan sedikit uang untuk

menutupi kebutuhan hidup. Di kala

musim dingin tiba, aku bangun dari

tempat tidurku, melihat ibu masih

bertumpu pada lilin kecil dan dengan

gigihnya melanjutkan pekerjaanny

menempel kotak korek api. Aku

berkata

:”Ibu, tidurlah, udah malam, besok

pagi ibu masih harus kerja.

” Ibu tersenyum dan

berkata :”Cepatlah tidur nak, aku tidak

capek”

———- KEBOHONGAN IBU YANG

KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti

kerja supaya dapat menemaniku pergi

ujian. Ketika hari sudah siang, terik

matahari mulai menyinari, ibu yang

tegar dan gigih menunggu aku di

bawah terik matahari selama

beberapa jam. Ketika bunyi lonceng

berbunyi, menandakan ujian sudah

selesai. Ibu dengan segera

menyambutku dan menuangkan teh

yang sudah

disiapkan dalam botol yang dingin

untukku. Teh yang begitu kental tidak

dapat dibandingkan dengan kasih

sayang yang jauh lebih kental. Melihat

ibu yang dibanjiri peluh, aku segera

memberikan gelasku untuk ibu

sambil menyuruhnya minum.

Ibu berkata :”Minumlah nak, aku tidak

haus!” ———- KEBOHONGAN IBU

YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit,

ibu yang malang harus merangkap

sebagai ayah dan ibu. Dengan

berpegang pada pekerjaan dia yang

dulu,

dia harus membiayai kebutuhan

hidup sendiri. Kehidupan keluarga

kita

pun semakin susah dan susah. Tiada

hari tanpa penderitaan. Melihat

kondisi keluarga yang semakin parah,

ada seorang paman yang baik hati

yang tinggal di dekat rumahku pun

membantu ibuku baik masalah besar

maupun masalah kecil. Tetangga yang

ada di sebelah rumah melihat

kehidupan kita yang begitu sengsara,

seringkali menasehati ibuku untuk

menikah lagi. Tetapi ibu yang

memang keras kepala tidak

mengindahkan nasehat mereka, Ibu

berkata : “Saya tidak butuh cinta”

———-KEBOHONGAN IBU YANG

KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku

semuanya sudah tamat dari sekolah

dan bekerja, ibu yang sudah tua

sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu

tidak

mau, ia rela untuk pergi ke pasar

setiap pagi untuk jualan sedikit

sayur untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Kakakku dan abangku yang

bekerja di luar kota sering

mengirimkan sedikit uang untuk

membantu

memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu

bersikukuh tidak mau menerima uang

tersebut. Malahan mengirim balik

uang tersebut.

Ibu berkata : “Saya punya duit”

———-KEBOHONGAN IBU YANG

KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun

melanjutkan studi ke S2 dan

kemudian

memperoleh gelar master di sebuah

universitas ternama di Amerika berkat

sebuah beasiswa di sebuah

perusahaan. Akhirnya aku pun

bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji

yang lumayan tinggi, aku bermaksud

membawa

ibuku untuk menikmati hidup di

Amerika. Tetapi ibu yang baik hati,

bermaksud tidak mau merepotkan

anaknya, ia berkata kepadaku :

“Aku tidak terbiasa” ———-

KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua,

ibu terkena penyakit kanker lambung,

harus dirawat di rumah sakit, aku

yang berada jauh di seberang

samudra

atlantik langsung segera pulang untuk

menjenguk ibunda tercinta. Aku

melihat ibu yang terbaring lemah di

ranjangnya setelah menjalani

operasi. Ibu yang keliatan sangat tua,

menatap aku dengan penuh

kerinduan. Walaupun senyum yang

tersebar di wajahnya terkesan agak

kaku

karena sakit yang ditahannya. Terlihat

dengan jelas betapa penyakit itu

menjamahi tubuh ibuku sehingga

ibuku terlihat lemah dan kurus kering.

Aku sambil menatap ibuku sambil

berlinang air mata. Hatiku perih, sakit

sekali melihat ibuku dalam kondisi

seperti ini. Tetapi ibu dengan

tegarnya berkata :

“Jangan menangis anakku, Aku tidak

kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU

YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan

kebohongannya yang kedelapan,

ibuku tercinta

menutup matanya untuk yang terakhir

kalinya. Dari cerita di atas, saya

percaya teman-teman sekalian pasti

merasa tersentuh dan ingin sekali

mengucapkan : ” Terima kasih Ibu ! ”

Coba dipikir-pikir teman, sudah

berapa lamakah kita tidak menelepon

ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah

kita tidak menghabiskan waktu kita

untuk berbincang dengan ayah ibu

kita?

Di tengah-tengah aktivitas kita yang

padat ini, kita selalu mempunyai

beribu-ribu alasan untuk

meninggalkan ayah ibu kita yang

kesepian. Kita

selalu lupa akan ayah dan ibu yang

ada di rumah. Jika dibandingkan

dengan pacar (‘afwan yah nyindir yg

pacaran), kita pasti lebih peduli

dengan pacar. Buktinya, kita selalu

cemas akan kabar pacar, cemas

apakah dia sudah makan atau belum,

cemas apakah dia bahagia bila di

samping kita…??

Namun, apakah kita semua pernah

mencemaskan kabar dari ortu kita?

Cemas

apakah ortu kita sudah makan atau

belum? Cemas apakah ortu kita

sudah

bahagia atau belum? Apakah ini

benar? Kalau ya, coba kita renungkan

kembali lagi…

Di waktu kita masih mempunyai

kesempatan untuk membalas budi

ortu kita, lakukanlah yang terbaik.

Jangan sampai ada kata “MENYESAL”

di kemudian hari.

[Dikutip dari milis.....]

Astaghfirullahal’adziim


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar